MAKALAH PENELITIAN SASTRA BANDING
BAB I
Pendahuluan
1.1. Latar Belakang
Dalam
kehidupan sehari-hari yang kita ketahui, dari masa lampau hingga jaman sekarang
permasalahan perempuan selalu menjadi topik yang sangat menarik untuk kita perbincangkan.
Karena di dunia ini, di masyarakat khususnya peran perempuan sangat penting
dalam bagaimana daerah itu akan berkembang.
Dalam
struktur masyarakat kuna perempuan ialah perempuan yang harus taat pada aturan,
hukum, adat istiadat, bahkan peraturan agama. Dari pernyataan tersebut,
perempuan kemudian menjadikan dirinya sebagai makhluk yang lemah dan tidak
dapat bebas dari segala aturan yang mensubordinasi dirinya. Perempuan dianggap
pula hanya bisa menyetujui segala keputusan yang di ambil oleh laki-laki.
Akhirnya, dalam keadaan seperti itu hanya laki-laki yang bisa mengambil
keputusan.
Dalam
pembagian kerja gender sangat jelas dideskripsikan bahwa perempuan biasanya
setelah menikah akan dibiarkan terus di dalam rumah, mencuci, memasak, mengurus
anak dan melayani suami. Dan suami adalah sosok yang melindungi memimpin dan
mencari nafkah atau bekerja. Hingga sesudah terjadinya emansipasi wanita, bahwa
wanita juga bisa berperan di lingkungan publik atau bekerja. Namun bukan
berarti dengan adanya emansipasi wanita, perempuan bisa begitu saja
meninggalkan gendernya. Akan tetapi terkadang peran perempuan dalam gendernya
itu tidak selalu di hargai dan diindahkan keberadaannya.
Salah satu karya sastra yang secara
gamblang menggambarkan citra perempuan adalah novel Gadis Pantai karya
Pramoedya dan Pengakuan Pariyem karya Linus Suryadi. Novel itu secara garis
besar menceritakan citra perempuan melihat kondisi masyarakat di mana wanita mendapatkan
berbagai persoalan sulit dalam menjalani kehidupan dan aktivitas karena adanya
hukum, aturan, adat istiadat bahkan kodrat yang menjadi belenggu bagi mereka
didukung oleh sistem patriarki atau ideologi kekuasaan laki-laki.
Novel Gadis
Pantai karya Pramoedya dan Pengakuan Pariyem karya Linus Suryadi kemudian menarik perhatian penulis
untuk mengkajinya. Jika wanita dalam novel tersebut digambarkan sebagai wanita
yang mampu bangkit dari keterpurukan segala sistem yang mengaturnya. Kebebasan
menjadi hal yang sangat dikejar para wanita untuk lepas dari
keterkungkungannya. Hal yang seperti itulah kemudian melahirkan citra diri dan
citra sosial pada diri wanita-wanita.
Oleh karna itu
penulis tertarik untuk menganalisis dan membandingkan novel tersebut dengan
menggunakan analisis kritik sastra feminis. Supaya perempuan sekarang bisa
mengerti hak-hak dan kewajiban mereka sebagai perempuan dari pengalaman yang
ada di dalam novel tersebut dan bisa mengambil hikmah dari setiap tokoh
perempuan yang ada dalam novel tersebut.
1.2. Rumusan Masalah
1. Bagaimana
citra diri perempuan dalam novel Gadis Pantai dan Pengakuan Pariyem ?
2. Bagaimana
citra sosial perempuan dalam novel Pantai dan Pengakuan Pariyem ?
3. Bagaimana
bentuk penindasan yang di alami tokoh perempuan novel Gadis Pantai dan
pengakuan Pariyem ?serta bagaimana cara mereka terlepas dari ketertindasan yang
mereka alami ?
1.3. Tujuan
1. Untuk
mengetahui bagaimana citra diri perempuan dalam novel Gadis Pantai dan
Pengakuan Pariyem.
2. Untuk
mengetahui bagaimana citra sosial perempuan dalam novel Gadis Pantai dan Pengakuan
Pariyem.
3. Untuk
mengetahui apasaja ketertindasan perempuan tersebut akibat ideology patriarki
dan cara membebaskannya dari keterkengkangan tersebut
4. Untuk
melengkapi tugas ujian tengah smester mata kuliah Sastra Banding.
5. Untuk
mengefaluasi diri sendiri seberapa banyak memahami sebuah karya sastra.
6. Untuk
memberitahu bagaimana peran sebuah perempuan seharusnya dalam masyarakat.
BAB II
Landasan Teori
Feminisme adalah basis teori dari gerakan pembebasan
perempuan. Feminis berasal dari kata femme
yang berarti wanita atau perempuan tunggal yang berjuang untuk memperjuangkan
hak-hak kaum perempuan jamak sebagai kelas sosial (Ratna,2004;184). Dalam arti
leksikal feminisme adalah gerakan wanita yang menuntut persamaan hak sepenuhnya
antar kaum wania dan pria. Feminisme adalah teori tentang persamaan antara
laki-laki dan wanita dalam bidang politik, ekonomi, sosial, atau kegiatan
terorganisasi yang memperjuangkan hak-hak serta kepentingan wanita.
Feminisme merupakan gerakan yang di lakukan oleh
wanita untuk menolak segala sesuatu yang di marginalisasikan, disubordinasikan
dan di rendahkan oleh kebudayaan yang dominan, baik dalam tataran politik, ekonomi
maupun kehidupan sosial lainnya. Pada dasarnya gerakan feminisme ini muncul
karena adanya dorongan ingin menyetarakan ha kantar pria dan wanita yang selama
ini wanita seolah-olah tidak dihargai dalam pengambilan keputusan dan
kesempatan dalam hidup.
Menurut Sudrajat (dalam
Sugihastuti, 2005: 20) ada beberapa pokok pikiran ragam teori feminis yang
dibedakan ke dalam tujuh kelompok, yaitu (1) Feminisme Liberal, (2) Feminisme
Marxis, (3) Feminisme Radikal, (4) Feminisme Sosialis, (5) Feminisme
Psikoanalisis, (6) Feminisme Eksistensialis, dan (7) Feminisme Pascamodern.
Tiap-tiap perspektif ini mencoba menjelaskan dan mendeskripsikan adanya
keterbelakangan yang dialami oleh wanita, faktor penyebab dan strategi yang
digunakan untuk lepas dari keterkungkungan tersebut.
Feminisme Liberal ialah wanita
perlu diperjuangkan sepenuhnya sama dengan laki-laki baik itu hak suara,
pendidikan maupun kesamaan dalam hukum. Jadi wanita memiliki kebebasam
individual dan secara penuh. Kebebasan yang dimaksud berakar dari rasionalitas
dan pemisahan antara dunia privat dan publik. Akar ketertindasan dan
keterbelakangan pada perempuan disebabkan oleh kesalahan perempuan itu sendiri.
Perempuan harus mempersiapkan diri agar mereka bisa bersaing di dunia
kerangka “persaingan bebas” dan punya kedudukan setara dengan laki-laki ( Fakih
dalam Etika, 2009: 15).
Feminisme Liberal ini melahirkan
hukum, tatanan dan aturan termasuk norma yang dikonvensi secara lisan dalam
tradisional yang bertanggung jawab atas penindasan dan subordinasi wanita.
Masyarakat menganggap wanita secara ilmiah kurang memiliki kemampuan
intelektualitas dan fisik maka dianggap tidak layak untuk diberi peran di
lingkungan publik.
Feminisme Radikal menekankan pada
perbedaan antara wanita dan laki-laki. Di mana sumber masalah di sini adalah
sistem patriarki dan pemaknaan akan seksualitas wanita. Feminis ini menganggap
bahwa dalam kaitannya dengan reproduksi dan seksualitas wanita, reaksi terhadap
pandangan bahwa laki-laki dan wanita secara kodrati berbeda. Artinya penindasan
terhadap wanita disebabkan oleh jenis kelamin laki-laki itu sendiri dengan
ideologi patriarkinya.
Cara pemikiran feminis radikal
dalam menghadapi laki-laki adalah dengan dengan menghancurkan kekuasaan
laki-laki yang tidak layak atas wanita. Dengan sendirinya wanita kemudian
menyadari bahwa wanita tidak ditakdirkan untuk menjadi pasif.
Ketertinggalan yang dialami oleh
wanita tidak dimasukkan dalam analsis kelas, karena pandangan bahwa wanita
tidak memiliki hubungan khusus dalam alat-alat produksi. Feminisme Marxis ini
berpendapat bahwa ketertinggalan yang dialami oleh wanita bukan disebabkan oleh
tindakan individu secara sengaja, melainkan akibat dari struktur sosial,
politik dan ekonomi yang erat kaitannya dengan sistem kapitalisme. Para feminis
marxis berpendapat bahwa tidak mungkin perempuan dapat memeroleh kesempatan
yang sama dengan laki-laki jika mereka hidup di dalam masyarakat yang berkelas.
Feminisme Sosialis menekankan
bahwa wanita tidak dimasukkan dalam analisis kelas. Wanita tertindas baik oleh
modal yang tidak memberikan upah domestik mereka. Feminis sosialis menggunakan
analisis kelas dan gender untuk memahami penindasan terhadap wanita. Oleh
karena itu, yang diperangi adalah konstruksi visi dan ideologi masyarakat serta
struktur dan sistem yang tidak adil yang dibangun atas bias gender.
Feminisme Psikoanalisis mempunyai
pandangan terhadap perbedaan seksualitas laki-laki dan perempuan menurut
perspektif ini berakar pada perbedaan psyce perempuan dan laki-laki
karena perbedaan biologis antara kedua jenis kelamin tersebut. Feminis
ini beranggapan bahwa tahapan psikoseksual adalah kunci untuk memahami
bagaimana seksualitas dan gender terjadi secara timpang, di mana kaum laki-laki
berada ada superordinat dan wanita berada pada subordinat.
Feminisme Eksistensialis
beranggapa bahwa manusia adalah esensi yang mengembangkan eksistensi.
Eksistensi melampaui esensi. Di dalam feminisme ini, laki-laki mahluk bebas
yang mendefinisikan diri sebagai subjek dan mendefinisikan pihak lain atau
wanita. Lahirnya feminisme ini kemudian menjadikan wanita membuka mitos-mitos
yang menetapkan posisinya sebagai “yang lain”. Perempuan keluar bertendensi
dari kungkungan tubuh.
Feminisme Pascamodern menolak penjelasan
tunggal atau besar masalah; masalah wanita harus dibongkar dari konteks lokal
atau situasi khusus. Wanita memang berbeda dari laki-laki. Tetapi harus dilihat
secara positif bukan negatif. Memampukan wanita melihat secara lebih kritis
norma, nilai dan praktik-praktik kelompok dominan.
Berdasarkan permasalah yang
terlihat dalam novel Gadis Pantai dan
Pengakuan Pariyem sebagai objek penelitian ini, maka kritik sastra
feminis yang digunakan oleh penulis sebagai alat analisis adalah kritik sastra
feminis yang dipersentuhkan dengan pandangan feminisme liberal dan radikal
dengan konsep Rutve yaitu Image of Women. Konsep ini menggunakan
teks-teks sastra sebagai bukti untuk melihat jenis dan peran yang disediakan
untuk perempuan. Ada dua tujuan yang berlawanan dalam pemberian tugas tersebut
yaitu keinginan mengungkapkan sifat representasi stereotip yang menindas dan di
sisi lain, peran tersebut memberi peluang untuk berpikir tentang wanita, yaitu
dengan membandingkan bagaimana wanita telah direpresentasikan dan bagaimana
seharusnya mereka direpresentasikan.
Dengan konsep tersebut, kritikus
dapat menentukan bagaimana karakter- karakter tokoh wanita direpresentasikan di
dalam teks-teks sastra. Melalui konsep itu pula, peneliti akan meilhat
bagaimana karakter-karakter wanita yang merupakan citra wanita. Di dalamnya
akan dilihat apakah tokoh wanita memiliki kesadaran kritis dalam melakukan
gerak yang dilakukannya sendiri. Selain itu, peneliti akan melihat reaksi dari
peran yang diberikan wanita, apakah diterima secara aktif atau justru dengan
pemberontakan.
BAB III
Metode Penelitian
Berikut
dipaparkan hal-hal yang berkaitan dengan metode penelitian yang meliputi di
antaranya yaitu obyek penelitian, metode pengumpulan data,teknik analisis data
dan validitas data.
3.1 Objek Penelitian
Objek penelitian dalam penelitian
ini adalah citra diri dan citra sosial perempuan yang terdapat dalam novel Gadis
Pantai karya Pramoedya Ananta Toer dan Pengakuan Pariyem karya Linus Suryadi AG
3.2 Metode Pengumpulan data
Membaca sejumlah buku teori sastra,
mencari referensi-referensi dari media apapun dan tulisan-tulisan yang berhubungan dengan objek
yang akan diteliti. Data yang diproses dalam penelitian ini ada dua yaitu:
1.
Data Primer
Sumber data primer dalam penelitian ini
adalah novel “Gadis Pantai karya
Pramoedya dan Pengakuan Pariyem karya Linus Suryadi” dan
juga
Tinjauan Kritik Sastra Feminis.
2.
Data Sekunder
Sumber data yang digunakan dalam
penelitian ini antara lain; buku-buku acuan, majalah/teks dan hasil penelitian
yang berhubungan dengan permasalahan yang menjadi obyek penelitian. Buku-buku
sastra dan teori yang relevan serta data-data dari internet yang memiliki
relevansi dengan fokus kajian.
3.3 Teknik Analisis Data
Data
yang diperoleh dalam penelitian ini dianalisis sesuai dengan pendekatan yang
digunakan yaitu analisis kritik sastra feminis. Data-data yang diambil bersifat
kualitatif, yaitu data-data yang mendeskripsikan status dan peran tokoh wanita
yang mencitrakan wanita, baik citra diri maupun citra sosial. Menyampaikan
bukti-bukti yang mendeskripsikan citra wanita, mengungkapkan gagasan-gagasan
tentang citra diri dan citra sosial wanita dan tentang feminis. Kemudian
menghubungkan antara gagasan-gagasan yang sesuai dengan ide feminis untuk membongkar
kebebasan wanita dan ideologi patriarki.
BAB IV
Pembahasan
4.1 Novel Gadis Pantai karya Pramoedya Ananta Toer
Menggambarkan tentang tokoh utama yaitu seorang
perempuan yang berasal dari wilayah pesisir atau wilayah pantai, pedesaan
pinggir pantai yang masih sangat terpencil, jauh dari peradaban kota dan hirup
pikuk keramaian. Pada waktu dia berumur empatbelas tahun si Gadis Pantai di
nikahkan oleh bapaknya dengan seorang pembesar jawa(keturunan darah biru). Di
dalam novel tersebut di jelaskan dengan gamblang bagaimana usaha-usaha si Gadis
Pantai dalam menghadapi dunia barunya yaitu di kehidupan perkotaan yang jauh
dari pantai, tempat tinggal yang di kelilingi dengan tembok-tembok raksasa yaitu
tempat tinggal para kaum ningrat. Dan kehidupan baru si Gadis Pantai yang
menjadi istri dari keturunan ningrat, yang dalam kenyataannya seorang ningrat
tidak pernah di anggap sah menikah, ketika mereka menikah bukan dengan
perempuan yang sederajat dengan nya. Di istana si Gadis Pantai bertemu dengan
berbagai aturan-aturan dan adat istiadat istana.
Dari hal-hal itu dalam pembahasan ini akan
dipaparkan bagaimana citra yang lahir dari tokoh si Gadis Pantai dalam novel
tersebut hingga tau cara bagaimana si Gadis Pantai mendapat kembali
kebebasannya dari keterkengkangan.Si Gadis Pantai juga mendapat banyak
ketidakadilan selama hidup di istana yang sebenarnya itu hanya sebuah belenggu,
hingga akhirnya si Gadis Pantai mendapatkan cara untuk lepas dari
keterbelengguan yang di alaminya. Gambaran lebih lanjut akan di jelaskan pada
uraian-uraian berikut.
Ø Citra tokoh si Gadis Pantai
4.1.1 Citra Fisik
Tokoh si Gadis Pantai(Mas Nganten)
dalam novel Gadis Pantai tersebut menggambarkan sosok gadis belia asli keturunan
dari anak nelayan. Wajahnya yang manis, berkulit kuning langsat, dan bertubuh
mungil ramping namun bagaimana si gadis pantai tetap gadis pantai yang tinggal
di pinggir pantai,kehidupan yang keras membuat tangan dan kulitnya tidak
semulus orang-orang kota yang bekerja halusan. Citra fisik tersebut tergambar
dari tokoh si Gadis Pantai yang dapat memikat pembesar jawa yaitu Bendoro, yang
menikahinya.
Empatbelas tahun
umurnya waktu itu. Kulit langsat. Tubuh kecil mungil. Mata agak sipit.
Hidungnya ala kadarnya. Dan jadilah ia bunga kampong nelayan sepenggal pantai
karesidenan Jepara Rembang. (Bagian Pertama/II)
“betapa kasarnya
tanganmu.” “Sahaya Bendoro.” Gadis Pantai berbisik dengan sendirinya. “Di sini
kau tak boleh kerja. Tanganmu harus halus seperti beludu. Wanita utama tak
boleh kasar.” (BagianPertama/32)
Dari hal di atas dapat di lihat bahwa pengarang
dengan sengaja menampilkan tokoh Gadis Pantai adalah perempuan yang manis dan
menggairahkan bagi Bendoro. Namun yang sebenarnya gadis pantai hanyalah istri
percobaan Bendoro, karna Bendoro adalah seorang ningrat yang hanya sah menikah
dengan perempuan yang sederajat dengannya.
4.1.2 Citra Nonfisik
a. Manja
Gadis Pantai merupakan perempuan yang
manja, dalam novel ini ia tak mau di tinggal sendiri di istana Bendoro. Gadis
Pantai ingin pulang bersama mak dan bapaknya. Namun apa daya dirinya sudah
dinikahi oleh Bendoro dan harus tinggal bersama Bendoro di istana.
Semenjak
tinggal di istana Gadis Pantai selalu mencurahkan segala keluh kesahnya kepada
bujangnya(pelayannya) yang sudah di anggap seperti mbok nya sendiri. Apapun
yang menjadi pertanyaannya akan di tanyakan kepada bujangnya itu, dan si Gadis
Pantai selalu ingin tahu dan di jawab semua pertanyaannya.
Cengkraman tangan Gadis Pantai pada
lengan emak semakin kencang. Dan emak mendesak anaknya, “bilang selamat.”
“se-la-mat,” Gadis Pantai berbisik.
“selamat,” emak berbisik dan sekali
lagi, “selamat buat kau nak.”
“jangan aku di tinggal emak.”
“diam. Selamat. Ayo bilang lagi.”
(bagian pertama/23)
Ia terperanjat tau-tau sudah berada di
luar khalwat(tempat sholat), dalam pelukan bujang, lari masuk ke dalam kamar
menghempaskan diri di ranjang.
“oh mak… bapak..” panggilnya
berbisik-bisik
“mas nganten, mas nganten.”
“bawa aku pulang pada emak. Aku mau
pulang ke kampung”
“mas nganten jangan menangis.” Gadis
pantai tenggelam dalam tangiannya.
“wanita utama mesti belajar bijaksana.
Berakit-rakit ke hulu…”(bagian pertama/38)
“jelek benar dongeng mbok mala mini.
Pijitlah aku.”
Wanita tua itu bangkit dari
lapik-ketidurannya, menyikap kelambu dan sambil berdiri memijit kaki Gadis
pantai. (bagian kedua/96)
b. Penurut
Meskipun si Gadis Pantai tidak ingin
menikah dengan Bendoro, namun karna itu adalah keinginan dari kedua orang
tuanya ia akhirnya mau menikah dengan Bendoro. Selama tinggal di istana gadis
pantai selalu menuruti peraturan, adat istiadat dan tata cara menjadi seorang
Bendoro Putri, tak lupa ia juga selalu menuruti apa kata Bendoro. Di istana
tersebut Gadis Pantai di tuntun oleh seorang Bujang, dari bujang itulah si
Gadis Pantai belajar memahami semuanya yang ada di istana. Apa yang di katakana
oleh bujangnya tentang tata cara istana di turutinya dengan penuh usaha dan
kerja keras.
Dari sebuah pojok bujang itu
mengeluarkan mukena putih dan mengenakannya pada Gadis PAntai. “duduk sekarang
diam-diam disini. Jangan bergerak, Bendoro duduk disana Mas Nganten harus
bersembahyang dengan beliau.”
“aku tak bisa”
“ikuti saja apa Bendoro lakukan”
“aku tak bisa”
“wanita utama mesti belajar- mesti bisa
melegakan hati Bendoro, ingat-ingat itu.”(bagianpertama/35)
c. Pencemburu
Semenjak pernikahan Bupati semakin
dekat, Bendoro tak pernah pulang dan jarang menemui si Gadis Pantai. Ia merasa
ada sesuatu yang terjadi, hatinya begitu gusar, pikirannya kacau, ia tak
mengerti sampai waktu itu, bahkan si Gadis Pantai merasa sangat cemburu. Hingga
semenjak Bujangnya si Gadis Pantai di usir karena telah menuduh agus-agus
Bendoro yang telah mencuri uang belanja si Gadis Pantai, ibu dari Bendoro
mengirimkan Bujang baru yang berasal dari perkotaan yang di rasai Gadis Pantai
lebih cantik darinya. Gadis Pantai merasa ada sesuatu di balik bujangnya itu
dan di balik semua ini.
Hatinya yang beku mendadak cair. Yang
keras dingin mendadak kembali cair hangat. Berbisik ramah :
“kau cemburu”
“sahaya, Bendoro. Sahaya semburu.”(bagian
kedua/106)
“Mas Nganten,” Mardi memulai, “pelayan
baru Mas Nganten.”
Gadis Pantai meletakkan cantingnya dan
mori baru setengah membatik ia gulung dan gantungkan pada jagangnya.
“apa harus ku panggil kau.”Gadis Pantai
bertanya.
“Mas Nganten nama saya Mardinah.”
“itu bukan nama orang desa.”
“sahaya lahir di kota, Mas Nganten.”
“berapa umurmu ?” “empatbelas, Mas
Nganten.”
“belum ada laki ?”
“janda Mas Nganten.”
Gadis Pantai tertegun. Ditatapnya wanita
muda itu. Lebih tinggi darinya. Air mukanya begitu jernih dan ceria,
gerak-geriknya cepat tanpa ragu-ragu.
d. Cerdas/pintar
Hidup di istana sebesar itu menurut
gadis kampung seperti Gadis Pantai itu sangatlah tidak mudah. Di istana si
Gadis Pantai di ajari sholat, mengaji, membatik, menenun, dan tidak lupa
belajar tentang aturan-aturan dan adat istiadat yang harus ia ketahui dan
laksanakan. Betapa si Gadis Pantai cepat beradaptasi dengan semua itu, melayani
Bendoronya dan menjadi wanita utama di istana Bendoro tersebut.
Setelah
lama berada di situ sudah banyak yang Bujangnya itu ceritakan pada si Gadis
Pantai, Bujangnya pernah memberinya nasihat, dan sebuah teka-teki tentang yang
sebenarnya terjadi. Tentang Bendoro, dirinya, dan semua yang ada di istana ini.
“ada Bendoro.”
“apa yang kau dengar ?”
“suara Bendoro. Suara kasih yang
dibawakan oleh denyut jantung.”
“kau mulai pintar. Mulai pintar – siapa
ajari ?”
Gadis Pantai tertawa lemah.
“siapa yang ajari?”
“kasih bendoro sendiri.”(bagian
kedua/102)
e. Tuna
Aksara
Pada jaman penjajahan dahulu jarang ada
orang yang bersekolah apalagi orang desa seperti Gadis Pantai tersebut. Hanya
orang-orang kota dan keturunan bangsawanlah yang boleh bersekolah. Seperti yang
tertulis dalam cerita Gadis Pantai tidak bisa baca dan tulis. Pada suatu hari
ada surat yang di tujukan kepada Gadis pantai. Namun karna merasa gengsi kepada
Mardinah Gadis Pantai tidak mau membacanya.
“Mas Nganten,” Mardinah memanggil lagi.
Dan tanpa menunggu reaksinya ia meneruskannya. “Mas Nganten bisa membaca bukan
?”
Megerti kelemahannya sendiri Gadis
Pantai terdiam.
“ada surat buat mas nganten.”
“aku tak membutuhkan surat dari
siapapun.”
“tapi surat ini sangat penting”
“tak ada yang lebih penting bagiku
kecuali satu.”(bagian kedua/129)
f. Labil
Seperti
pada umumnya usia belasan tahun adalah usia dimana seorang perempuan menginjak
masa remaja, dan juga mulai mengenal cinta, dan di usia remaja lah emosi
seorang perempuan sangat sekali berubah-ubah. Seperti yang di ceritakan di
novel Gadis Pantai, si Gadis pantai masih berumur empatbelas tahun, masih
belia. Tidak salahnya ia adalah seorang yang berperasaan labil. Seperti dalam
kutipan berikut.
Gadis pantai berhenti membatik.
Sekaligus tergambar dalam ingatannya seorang pria bertubuh tegap, tidak begitu
tinggi, kulitnya kehitaman, dan suaranya begitu tegas dan yakin : tamu Bendoro
yang ia tak ketahui namanya. Ia tersenyum sedikit.
“siapa yang sedang MAs Nganten pikirkan
?” Gadis Pantai kaget dan bingung. Tahukah dia siapa aku pikirkan? Ia
selamatkan wajahnya dari Mardinah.
“Mardinah” panggilnya
“sahaya, mas nganten” dan sebentar
kemudian Mardinah masuk ke dalam kamar berdiri disampingnya agak beberapa meter
menjauh.
“katakana apa yang hendak kau katakana.”
Gadis Pantai memulai.
“seorang pemuda gagah ingin berkenalan,
Mas Nganten.”
“apa lagi?” “ini suratnya Mas Nganten.” “haruskah saya membacanya ?”
“tidak. Aku tidak membutuhkan surat.
Apalagi hendak kau lakukan ?”
“apa Mas Nganten tidak ingin tahu isi
surat ini ? dan membalasnya ?”
“Tidak. Apa lagi?”
Mardinah terdiam.(bagian kedua/129-130)
g. Pemberani
Betapa tidak si Gadis Pantai adalah
perempuan pemberani, ia di lahirkan di kampong nelayan yang sejak kecil
berhadapan dengan kehidupan yang keras, ombak yang besar menerjang sampai ia
terseret terbawa ke perkotaan. Tempat ia belajar hal banyak disana. Perkotaan
tempat ia pada akhirnya tidak akan kembali ke kampong halamannya kembali.
Sifat
pemberaninya di tunjukan saat Bendoro mengijinkannya untuk pulang sejenak dan
menemui orang tuanya.
Dan
semenjak anaknya lahir pula Gadis Pantai berani kepada Bendoronya, karna tidak
mau menggendong anaknya, dan anaknya pun tak boleh di bawa pergi oleh si Gadis
Pantai.
Hari sudah mulai gelap. Dalam kegelapan
Mas Nganten melihat Mardinah hanya
menunduk di atas bangku. Kedua wanita itu masih muda belia, tetapi sudah
berpengalaman banyak. Keduanya menjadi dewasa dalam gemblengan kesulitan-kesulitan.(bagian
ketiga/156)
“mulai kapan kau punya ingatan mau
melarikan bayi ini?”
Gadis pantai mengangkat muka, menantang
mata Bendoro. Perlahan lahan ia berdiri tegak dengan bayi dalam genggamannya.
“ayam pun bisa membela anaknya, Bendoro.
Apalagi sahaya ini seorang manusia, biarpun sahaya tidak pernah mengaji di
surau.”
“pergi !!!”
Gadis pantai memunggungi Bendoro, dan
dengan bayi dalam gendongannya ia melangkah cepat menuju pintu.
“tinggalkan anak itu !!”
“tahan dia !” seru Bendoro sambil
mengayun ayunkan tongkatnya.
Bujang laki-laki dan perempuan mendesak.
“bukan pencuri aku.” Teriak si Gadis
Pantai
“maling!!” bentak bendoro. “lepaskan
bayi itu dari gendongannya. Kau mau ku panggilkan polisi ?”
“aku Cuma bawa bayiku sendiri. Bayi yang
ku lahirkan sendiri. Dan bapaknya adalah syetan.”lepaskan !”
Seseorang memukul mulutnya hingga
berdarah. Ia tak tahu kepala tongkat Bendoro mengucurkan darah pada bibirnya.
Bayi itu tahu-tahu lepas dari tubuhnya.
“lempar dia keluar !” Bendoro berteriak.(bagian
keempat/264)
h. Tabah
dan Sabar
Di akhir cerita betapa pengarang
menuliskan kisah hidup si Gadis Pantai sangatlah berat, banyak belenggu yang
menghantui Gadis Pantai selama berada di istana, menikah dengan Bendoro, betapa
tidak, setelah si Gadis Pantai melahirkan seorang anak,yaitu seorang anak
perempuan, si Gadis Pantai di usir dari istana. Anaknya tidak boleh dibawa
bersamanya. Anaknya tetap tinggal di istana bersama Bendoro. Bendoro memberinya
pesangon dan tak lupa memberinya sebuah pesan.
Dari
situlah si Gadis Pantai mengerti apa yang dulu pernah di katakana oleh mboknya
yaitu si Bujang pelayannya dulu. Kaum ningrat hanya bisa menikah dengan wanita
yang sederajat dengannya. Jika mereka menikah dengan kaum jelata, itu hanyalah
menikah percobaan, yang sebenarnya hanya untuk memuaskan kebutuhan seks laki-laki.
Kehidupan
di istana dengan pembesar jawa begitu perih, betapa tidak dihargainya derajat
orang kampuang, orang abangan. Betapa bedanya orang ningrat dan orang jelata. Penindasan-penindasan
batin yang terjadi menggambarkan betapa kejam sebenarnya kehidupan istana itu.
Dari
penjelasan di atas, akan lebih jelasnya dengan di sertai dengan ungkapan di
bawah ini,
“kapan pergi dari rumah ini?”
“kapan? Tapi ini bukan rumah Mas
Nganten”
Sekarang Gadis Pantai terkejut. “jadi
menurut pendapatmu siapa aku ini?”
“selir”
“baiklah selir. Apa kau sebenarnya?”
“sahaya”
“kapan kau pergi ?”(bagia kedua/131)
“siapa yang menggaji kau disini?”
“mas nganten”
“tidak aku tidak suka menggajimu. Minta
gaji pada bendoro mu di Demak. Aku sekarang mulai tau kau pembawa onar disini.”
“tidak, saya datang buat kepentingan
bendoro.”
“ha ?”
“karena tidak layak beberapa kali beristrikan orang kampung
melulu.”
Gadis pantai menjadi pucat nafasnya
megap-megap. Ia tak tahu punya kekuatan sedikitpun untuk menegakkan diri di
tengah-tengah kumpulan bangsawan.
Melihat keadaan itu segera Mardinah
menyerang. “jadi Mas Nganten tahu siapa sahaya. Seorang yang lebih tinggi dari
Bendoro mengutus saya ke mari. Sudah waktunya Bendoro kawin dengan benar-benar
dengan seorang gadis yang benar-benar bangsawan juga. Di Demak sudah banyak
bangsawan Gadis menunggu. Siapa saja boleh Bendoro ambil, sekalipun sampai
empat.
Sekarang
ia harus berpikir semuanya sendiri, sejak peninggalan bujang Gadis Pantai
dahulu. Ia mengerti semua itu dengan perasaanya, dengan tubuh dan jantungnya.
Dan ia pun kenangkan masa lalunya, hari-hari ketika masih hidup di pantai.(bagian
kedua/133)
“jadi sudah lahir dia. Aku dengar
perempuan bayimu, benar ?”
“sahaya, Bendoro”
“jadi Cuma perempuan ?”
“seribu ampun, Bendoro”
Bendoro membalikkan badan dan keluar
dari kamar sambil menutup pintu kembali.
Ia ingin mempersembahkan anak ini pada
bapaknya. Ia ingin anak dan bapaknya berpandang-pandangan mesra. Tapi bendoro
tak pernah menengoknya.(bagian keempat/253)
“aku piker memang barangkali ini memang
sebaiknya. Biar begini berat rasanya. Biar ia tak perlutau emaknya. Dia akan
seperti bapaknya,dia akan memerintah, dia akan tinggal di gedung. Tak perlu
melihat laut. Ah bapak, aku harus berikan itu semua, aku harus berikan.
“(bagian keempat/267)
4.2 Novel Pengakuan Pariyem karya Linus Suryadi AG
Novel Pengakuan Pariyem karya Linus Suryadi AG ini
menggambarkan tentang tokoh perempuan yang bernama Maria Magdalena Pariyem,
atau sering di panggil Pariyem. Tokoh dalam novel ini sangat blak-blakan
menceritakan tentang pengakuannya selama hidupnya, dari mulai dia lahir hingga
dewasa dan mempunyai anak. Pengarang menjadikan sudut pandang novel ini adalah
orang pertama pelaku utama. Yang menjadikan novel ini adalah seperti curhatan
Pariyem kepada pembaca. Pariyem juga menceritakan orang-orang di sekitarnya.
Dari kisah hidupnya Pariyem menceritakan pengakuan
yang pernah ia lakukan semasa hidup sebagai babu di kota Ngayogyakarta yaitu di
rumah ndoro Kanjeng Cokro Sentono. Pengarang tidak menjelaskan akhir dari
cerita ini dengan jelas. Hanya saja Novel ini berakhir dengan Happy Ending atau akhir yang bahagia.
Pengarang lebih mengutamakan unen-unen atau nasihat jawa, tentang bagaimana wanita jawa
seharusnya. Tentang budaya-budaya dan perumpamaan-perumpamaan yang indah.
Ø Citra Tokoh Pariyem
4.2.1 Citra Fisik
Dalam
novel Pengakuan Pariyem tokoh utamanya yaitu Pariyem sendiri. Yang bernama
lengkap Maria Magdalena Pariyem, ia lahir di Wonosari Gunung Kidul, daerah
pegunungan di Ngayogyakarta. Terlahir dari pasangan sinden dan pemain ketoprak,
yang sudah pensiun akibat adanya penyerangan dari G-30-S/PKI, dan akhirnya
kedua orang tuanya menjadi petani. Itu yang menjadikan Pariyem mengadu nasib
menjadi babu di rumah nDoro Kanjeng Cokro Sentono. Perawakannya yang monthok
membuat pariyem sering menimbulkan hasrat laki-laki naik dan ingin menidurinya.
Seperti kutipan di bawah ini.
Bibir dan pipinya semburat
Tubuhnya monthok seperti tubuh
saya(Pengakuan Pariyem/239)
4.2.2 Citra NonFisik
a) Lugu
Sebagai orang pedesaan tepatnya di desa
Wonosari Gunung kidul, Pariyem tumbuh besar menjadi orang desa yang Lugu,
apaadanya dirinya. Tidak pernah munafik akan dirinya sendiri. Jika ia suka ya
dia mengatakan suka, seperti itu ibaratnya. Dengan keluguannya Pariyem menjadi
perempuan yang periang dan di sukai banyak orang di sekitarnya.
“PARIYEM, nama
saya Lahir di Wonosari Gunung Kidul pulau Jawa Tapi kerja di kota pedalaman
Ngayogyakarta Umur 25 tahun sekarang – tapi nuwun sewu tanggal lahir saya lupa
tapi saya ingat betul weton saya : Wukunya Kuningan di bawah lindungan bethara
Indra Jumat Wage waktunya ketika hari bangun fajar….” (Pengakuan Pariyem/1)
b) Energik
Pariyem
adalah sosok wanita yang energik karena perawakannya yang clemang clemong, lugu
dan centil-centil membuatnya selalu terlihat energik. Dari gerak geriknya, dan
nada cara bicaranya Pariyem itu wasis yang
berarti energik. Terbukti dari kutipan-kutipan di bawah ini.
“ketlingsut kemana kamu yu iyem? Sudah 5
tahun di Yogya kok hilang kepencut sama wong lanang apa , ha ?”
Betapa gonduk hati saya orang jatuh dari
lubang sampai stagen copot segala..(Pengakuan Pariyem/125)
Pariyem
memang wanita energik hingga dia pecicilan dan jatuh kejeglong.
c) Periang
dan Lucu
Linus sangat kuat menggambarkan tokoh
Pariyem di novel Pengakuan Pariem ini, kenapa tidak, karna banyak
kutipan-kutipan dalam novel ini yang membuat pembacanya bakal mesam mesem. Dari
gaya bahasa pariyem yang apaadanya membuat majikan Pariyem sangat senang
dengannya terutama nDoro ayu istri nDoro Kanjeng, Den Bagus juga nDoro Putri.
Hingga Pariyem sudah di anggap menjadi sebagian dari keluarga nDoro Kanjeng.
Pariyem sangat dekat dengan kedua anak nDoro Kanjeng. Sering Pariyem membuat
candaan-candaan yang membuat keluarga nDoro Kanjeng terhibur.
Ah ya kalau
sudah begini saya mesti yang menengahi dan sayalah yang mengaku bersalah karena
tak cepat mencuci sempak dan kutang nya nDoro putrid dan Den Baguse. Saya
bilang : “ae..ae..ae.. pagi ini.. kok sandiwaranya berlakon Sempak dan Kutang”
Lantas satu keluarga tertawa apalagi Den Baguse yg ngakak dan nDoro putrid
ngikik2.(Pengakuan Pariyem/150)
d) Penggoda
yang handal
Dengan tubuh yang montok, pembawaan diri
yang lugu apaadanya serta lucu dan menyenangkan, Pariyem sangat senang merayu
laki-laki yang sudah naik birahinya ketika melihatnya, bukannya malah
menutupinya dan pergi, malah Pariyem suka menggoda. Menurutnya dia senang
bercanda ketika melihat laki-laki yang tergoda olehnya. Salah satunya adalah
Den Baguse yang sering tergoda oleh Pariyem.
“Lha Den Baguse
Ario Atmojo betapa sering dia kumat manjanya. Wah wah kalau sudah begini saya
dibikin setengah mati, lha sudah gede kok suka merengek. Apalagi kalau saya
goda : “ besok aja ah, besok saja saya capek, kok.” (pengakuan Pariyem/48)
e) Nakal
(bernafsu tinggi)
Novel
Pariyem ini di bingkai oleh Linus dengan sentuhan-sentuhan seksual Pariyem
dengan para laki-laki yang dicintainya, yaitu mas Kliwon yang itu adalah
tetangganya dan Den Baguse putranya nDoro Kanjeng. Namun tidak menutup segi
amanat yang tersirat di dalam novel ini. Tentang unen-unen jawa.
Kalau sudah dipangkuan sama Den Baguse
betapa lumer saya, bisa mati kelenger.. (Pengakuan Pariyem/48)
“hem, ya , sekedar obat kangen saya
meladeni mas kliwon di kamar”(Pengakuan Pariyem/99)
Saya buka semua pakaian di badan saya
tanpa kebaya, jarit, dan tanpa kutang. Ah , saya telanjang – saya kucel-kucel
penthil saya sebagaimana Den Baguse mengucel-ngucelnya. Merem melek mata saya O
dewi Ratih dan dewa Kama kursi tempat saya duduk penuh dengan cairan……(Pengakuan
Pariyem/186)
f) Rajin
Maria Magdalena Pariyem, sering di
panggil “iyem” dari Wonosari Gunung
Kidul sebagai babu nDoro Kanjeng Cokro Sentono. Sudah semestinya iyem adalah
wanita yang rajin. Karna ia bekerja sebagai babu. Karna itulah nDoro Ayu senang
mempekerjakan Iyem. Dari kutipan berikut akan membuktikan bahwa Iyem adalah
wanita yang rajin.
“O, iya hari ini
hari Jumat Sore hari saya sudah bersiap memipis jamu kunir cabe puyung untuk
nDoro Ayu dan nDoro Putri Mereka doyan benar minum jamu Jawa untuk memelihara
badan.”(Pengakuan Pariyem/123)
g) Ikhlas,
nriman, rela
Pariyem, sebagai wanita jawa tulen,
Pariyem dalam menyikapi permasalahan hidupnya dia selalu triman, dalam pedoman
hidupnya dia tidak mengerti dosa, karna dia menganut ajaran kepercayaan jawa.
Dia memang baik kepada semua orang, asalkan yang dia perbuat tidak menyusahkan
orang lain. Tetapi dia sedikit nakal. Dia pernah di setubuhi oleh tetangganya
yang dia suka yaitu mas Paiman, dan anak dari nDoronya sendiri yaitu Den
Baguse, tapi dia tetap lila,trima, karna dia berpikir dia juga membutuhkannya
dan menikmatinya serta puas. Hingga akhirnya dia hamil, gara-gara kelewatan
berhubungan tubuh dengan Den Baguse.
“kalo sudah di pangku Den Baguse betapa
lumer saya, bisa mati klenger. Lha saya sudah puas kok saya
lega-lila.”(pengakuan Pariyem/48)
Ketika nDoro Putri mengetahui jika
Pariyem hamil Pariyem berkata :
“saya taka pa-apa, kok saya tak
menyesal, saya ikhlas saya lega lila.”
O, Gusti nyuwun ngapura Orang meteng
mana ada aib nya? Tak ada aib bagi orang meteng.
h) Pandai
bernasihat dan unen-unen jawa
Linus menyampaikan amanat-amanatnya
melalui tokoh Pariyem yang sering mengungkapkan kata-kata,pribahasa, dan
unen-unen nasihat masyarakat jawa. Akan tetapi Linus membungkusnya dengan
sentuhan-sentuhan seksualitas yang terdapat pada tokoh Pariyem ini.
Maria Magdalena Pariyem biasa di panggil
Iyem atau Pariyem, meskipun dia sangat nakal dalam urusan bercinta dan bermain
hasrat dengan laki-laki, namun di balik ke nakalannya, keblak-blakannya, di
balik keluguannya, Pariyem adalah sosok wanita yang bijaksana dalam berperilaku
dengan sesama. Mungkin karna Pariyem lahir di desa Yogyakarta yang penuh dengan
kebudayaan jawa kuna yang kental. Banyak unen-unen dari simbah-simbah masa lalu
yang diturunkan dari mulut ke mulut. Hingga Pariyem pun mengerti betul tentang
unen-unen tersebut. Banyak kata-kata yang tertulis di dalam novel ini yang
menguatkan bukti bahwa citra wanita novel Pariyem adalah sosok yang berbudaya
kepercayaan Jawa. Seperti berikut ini :
“Begitulah nama
membawa tuah: Bibit, Bebet, Bobot. Dan 3B sebagai babu, kok. Itu saya indhit,
saya kempit saya sandang dan saya tayang sampai masuk ke liang kubur.”(Pengakuan
Pariyem/6)
Madeg, mantep
dan madhep. Dan saya sudah 3M sebagai babu, kok. Kabegjan kita bawa
masing-masing kita punya sudah kita bawa sejak lahir. Rejeki datang bukan
karena culas dan cidra tapi karena uluran hyang maha agung.
Asih, asah,
asuh. Bukan keberanian dan ketakutan yang menghantarkan kita berjalan, namun
kemauan dan kebulatan hati yang melembari kebangunan diri bukan kemegahan dan gagah-gagahan
yang mengundang kita bertanandang tapi permaafan dan kasih saying yang
melestarikan perhubungan.
Orang yang
berisi itu orang yang semakin runduk ke bumi. Itulah ngelmu padi. Sikap congkak
dan sombong diri tanda orang itu kurang pekerti
“wani ngalah
luhur wekasanipun”
“ngipi iku
sekare wong turu” lha bila sampeyan masuk ke dalam bila msuk ked lam lubuk hati
niscaya terbuka cakrawala rahasia tabir mimpi.
O prnderitaan
mana yang lebih edan disbanding saat-saat ibu melahirkan ? Yang nikmat sudah berbulan di kenyam, yang
laknat lagi datang menghaadang. Karena, demikianlah kodrat wanita: dia tak bisa
selak memenuhi kodratnya dia tak bisa menolak bakat alaminya dia tak bisa
ingkar memenuhi lakunya.
Kudangan untuk
si bayi:
“kidang talung
Mangan kacang
talun
Mil ketemil
Milketemil
Si kidang mangan
lembayung!
Tikus bunting
Duwe anak
bunting
Cicit cuit
Cicit cuit
Si tikus saba
ing lumbung
Gajah belang
Saka tanah
sebrang
Nuk renggunuk
Nuk renggunuk
Si gajah saba
ing sendhang”
Dari analisis di atas, melalui citra yang tergambar
dalam pembahasan di atas secara tidak langsung menjelaskan tentang citra diri
dan citra sosial tokoh dalam novel Gadis Pantai dan Pengakuan Pariyem. Dalam
pembahasan di atas juga di deskripsikan dengan jelas bawasannya deskripsi
tersebut memenuhi pola-pola dalam feminisme radikal dan liberal. Di dalam
analisis di atas juga di uraikan bagaimana kehidupan para tokoh mencoba lepas
dari budaya patriarki. Yang menjadi objek penindasan terhadap perempuan adalah
tubuh perempuan itu. Artinya dari reproduksi dan seksualitas , laki-laki dan
perempuan secara kodrat memang berbeda. Dapat di lihat dari tokoh Gadis Pantai
dan Pariyem berusaha lepas dari hal tersebut.
Seperti yang di alami oleh Pariyem, dia pernah di
setubuhi oleh tetangganya yaitu Paiman Kliwon, laki-laki yang pernah di
cintainya, yang merampas keperawanannya pertama kali. Namun mas Paiman merantau
di Jakarta, dan mereka lama tak bertemu, Pariyem merasa terkengkang dengan rasa
rindunya. Hingga akhirnya Pariyem merantau menjadi babu di kota Ngayogyakarta ,
babu nDoro Kanjeng Cokro Sentono. Pariyem berusaha terlepas dari
keterkengkangannya oleh rasa rindunya, hingga dia juga bersetubuh dengan anak
nDoronya yaitu Den Baguse hingga akhirnya ia hamil, tapi cucunya tetap di akui
sebagai cucu nDoro Kanjeng. Artinya Pariyem sudah terlepas dari segala belenggu
patriarki. Meskipun secara sekilas sebenarnya ia tetap tersubordinasi dengan
sikap seperti itu. Namun dalam kaitannya dengan feminis ia sudah mencoba lepas
dari keterkungkungan. Tubuhnya yang menjadi objek tetapi Pariyem tidak ada
aturan yang mengikat dalam hal seksualitas yang ia lakukan.
Feminisme Liberal beranggapan bahwa sebordinasi
wanita berakar dari keterbatasan hokum adat. Masyarakat menganggap wanita
secara ilmiah kurang memiliki kemampuan intelektualitas dan fisik maka di
anggap tidak layak untuk di beri peran di lingkungan publik. Gerakan ini
beranggapan bahwa system patriarki dapat di hancurkan dengan cara mengubah
sifat masing-masing individu.(Sugihastuti dan Sastriyani dalam Jumiyanti,
2011:18). Tokoh Gadis Pantai memenuhi pola-pola feminisme Liberal. Di tunjukan
sebagai tokoh yang lema dalam fisik. Aturan-aturan atau norma yang kemudian
memang sudah lahir dalam masyarakat, dalam novel adalah norma aturan-aturan di
istana Bendoro. Tokoh Gadis Pantai dinilai tidak kuat dan kurang Intelektual.
Apalagi Gadis Pantai sangat jauh derajatnya dengan Bendoronya yaitu orang
abangan dan bangsawan. Namun pada akhirnya Gadis Pantai terbebas dari
keterkengkangan aturan-aturan istana karena ia di usir dan pergi ke desa
bujangnya yang dahulu.
BAB V
Penutup
5.1 Kesimpulan
Setelah
melalui proses penguraian-penguraian melewati kutipan-kutipan dari novel yang
telah di sajikan di dalam pembahasan, semakin memperjelas adanya bukti-bukti
ketrtindasan perempuan dan cara keluar dari belenggu tersebut.
Di
tinjau dari kritik sastra feminis novel Pariyem cenderung memenuhi pola-pola
feminisme radikal, sedangkan novel Gadis PAntai memenuhi pola-pola feminisme
liberal. Dengan tokoh Pariyem dan Gadis Pantai.
5.2 Saran
Penulis
sangat berharap mendapatkan saran dari pembaca dalam proses perbaikan. Supaya
penulis tahu salah atau benarnya. Serta dapat memahami bagaimanasebuah
penelitian yang baik dan benar. Karena penulis merasa makalah ini jauh dari
kesempurnaa.
DAFTAR PUSTAKA
Anantatoer, Pramoedya. 2011.
Gadis Pantai. Jakarta:Lentera
Dipantara
Suryadi AG, Linus. 2009. Pengakuan Pariyem. Jakarta: KPG (Kepustakaan Populer Gramedia)
Sugihastuti. 2002. Teori Apresiasi Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Sugihastuti dan Suharto. 2002. Kritik Sastra Feminis Teori dan Aplikasinya.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Teew, A. 1984. Sastra dan Ilmu Sastra. Jakarta Pusat: Pustaka Jaya
Ratna, Nyoman Kutha. 2004. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Laporan
Tugas Sastra vivisyilfiarizkisastra.blogspot.com/Rabu, 1 Oktober
2014
Perempuan_dalam_kuasa_Patriarki.pdf/
Rabu, 1 Oktober 2014
Skripsi Tri ayu.pdf/ Rabu, 1 Oktober
2014
If you're attempting to lose kilograms then you absolutely need to get on this totally brand new custom keto meal plan diet.
BalasHapusTo create this service, licensed nutritionists, fitness trainers, and top chefs united to develop keto meal plans that are effective, decent, economically-efficient, and delicious.
From their first launch in 2019, 1000's of individuals have already completely transformed their figure and well-being with the benefits a proper keto meal plan diet can offer.
Speaking of benefits; clicking this link, you'll discover 8 scientifically-proven ones given by the keto meal plan diet.