ALUR CERITA TUNGGAK-TUNGGAK JATI
Alur Cerita Tunggak-tunggak Jati
1. Pada
Generasi pertama
Generasi pertama etnis Tionghoa dan etnis Jawa
dalam novel ini masih mengusung stereotip etnis. Hal ini dimaksudkan untuk
menunjukkan kondisi yang nyata di
masyarakat tentang pandangan etnis Jawa kepada etnis Tionghoa dan sebaliknya.
Generasi pertama ini dalam alur cerita berikutnya akan mendapatkan
kesadaran-kesadaran bahwa stereotip yang selama ini sudah kekal dalam diri
mereka sebagai bentuk mind set yang dapat
berubah karena adanya penyadaran-penyadaran dari generasi kedua. Jika tidak
mendapatkan penyadaran, maka orang-orang dari generasi pertama ini akan
dihilangkan dalam cerita atau tampil sebagai orang-orang yang kalah.
Generasi pertama dan stereotipnya tampak dalam
pembahasan di bawah ini
- Bapak dan Ibu Karsonto
Bapak
dan Ibu Karsonto merupakan orang tua dari Karmodo dan Karsini. Bapak dan Ibu
Karsonto merupakan wakil generasi pertama dari etnis Jawa, sedangkan Karmodo
dan Karsini merupakan wakil generasi kedua dari etnis Jawa. Bapak Ibu Karsonto
masih mengusung stereotip etnis Jawa yang
lemah, tidak berdaya, dan selalu menaruh curiga pada etnis Tionghoa.
Sifat ini tampak dalam kutipan berikut.
Pak
Karsonto biyen tau dipisuh-pisuhi kalane isih manggon sadesa ana ing Manting.
Malah ora trima sadesa, nanging sasat dadi saomah. Jalaran Pak Karsonto lanang
wadon kuwi buruhe. Kulawargane Karsonto diwenehi papan ana ing omah cilik ing
pojok pekarangane, supaya yen ana pikongkonan sawayah-wayah, ora kangelan
nggoleki (Esmiet, 1977: 11).
Embuh sabab apa, rong taun kepungkur
Pak Karsonto sing wis dadi buruhe telung puluh tahun lawase, ujug-ujug njaluk
metu saka pagaweyane lan pamitan bakal ngalih menyang desa Kalidawir.
Kutipan di atas menunjukkan bahwa
keluarga Karsonto sebagai wakil etnis Jawa pada novel ini hanya berprofesi
sebagai pesuruh yang hidupnya bergantung kepada seorang etnis Tionghoa yang
menjadi majikannya. Pak Karsonto dan keluarganya sudah 30 tahun menjadi pesuruh
Bian Biau, etnis Tionghoa yang menguasai daerah tersebut. Saat Pak Karsonto
meminta berhenti, Bian Biau tidak terima dan mengatakan bahwa keluarga Pak
Karsonto masih mempunyai hutang, karena kalau Ibu Karsonto sakit, Bian Biau
yang memberi ongkos untuk berobat. Oleh karena itu, Bian Biau meminta Karsini
(adik Karmodo) tetap tinggal dan menjadi pembantu di sana.
Lagi-lagi tipikal etnis Jawa yang nrima dan serba ngalah tampak di sini. Pak Karsonto tanpa mengemukakan
ketidaksetujuannya, mengabulkan permintaan Bian Biau. Akhirnya anak bungsunya
ditinggal di rumah Bian Biau untuk menjadi pembantu sampai hutang-hutangnya
kepada Bian Biau lunas. Selain stereotip bahwa etnis Jawa hanya mampu menjadi
pembantu, selalu mengalah, dan lain-lain, sikap etnis Jawa yang selalu menaruh
curiga pada etnis Tinghoa juga tampak dalam kutipan berikut.
“…aja nganti kulawargane dadi gedibale Cina.
Lha kok kowe malah nekad arep dadi gundhik, coba …”
Kutipan di atas menunjukkan sikap
kecurigaan etnis Jawa yang diwakili oleh Bapak dan Ibu Karsonto terhadap etnis
Tionghoa. Saat anak perempuannya (Karsini) menjalin hubungan dekat dengan etnis
Tionghoa, mereka menunjukkan ketidaksetujuannya. Menurut mereka, etnis Tionghoa
hanya menginginkan perempuan dari etnis Jawa sebagai gundik (istri simpanan dan
bukan istri yang sah), hanya dipelihara dan tidak diberi hak seperti layaknya
istri. Pandangan ini pada alur cerita selanjutnya akan dilawan dengan
kisahan-kisahan wakil etnis dari generasi kedua yang menunjukkan bahwa etnis
Tionghoa pada generasi berikutnya akan lebih menghargai perempuan Jawa, dan
menikahinya sebagai istri yang syah, bahkan bersedia untuk memeluk agama yang sama
dengan yang dipeluk oleh perempuan Jawa tersebut.
b.
Tan Bian Biau
Tan Bian Biau adalah majikan keluarga
Karsonto. Bian Biau merupakan wakil etnis Tionghoa yang masih memegang teguh
prinsip bahwa etnis Tionghoa lebih unggul daripada etnis Jawa. Bahkan Bian Biau
meyakini bahwa orang Jawa dan keturunan-keturunannya tidak mungkin memperbaiki
nasib dan selamanya hanya mampu menjadi jongos. Hal ini tampak dalam kutipan
berikut.
“Pak Karsonto, bapake Karmodo kuwi tilas
jongosku. Ora bisa anake jongos dadi insinyur…,” celathune Bian Biau karo
menjep.
Selain itu, Bian Biau juga tampil
sebagai etnis Tionghoa dengan stigma yang biasa melekat pada etnis Tionghoa
yaitu licik, eksklusif, kikir, dan srigala ekonomi, suka menyuap, dan mampu
mengorbankan segala hal demi uang. Srigala ekonomi memang tampak jelas dalam
perwatakan Bian Biau, sebagai wakil etnis Tionghoa generasi pertama dalam novel
ini. Kelicikan Bian Biau tampak dalam taktiknya dalam mempermainkan peraturan
pemerintah dalam hal pembukaan hutan sebagai lahan perkebunan. Menurut
peraturan yang berlaku, penduduk yang sanggup bekerja pada perusahaan diberi
hak untuk menanam tanaman lain, selain tanaman baku. Tetapi kemudian
tanah-tanah tersebut semuanya disewakan kepada Bian Biau, dan para penduduk
hanya bekerja untuk Bian Biau. Dengan jumlah tanah yang berhektar-hektar
tersebut Bian Biau mampu mengekspor hasil kebunnya sampai ke Jepang. Hal ini
kemudian diketahui oleh Karmodo yang diberi wewenang oleh pemerintah untuk
mengatur wilayah yang dikuasi oleh Bian Biau.
Karmodo bersikap keras kepada Bian
Biau. Bahkan mengancam akan menutup semua perkebunan yang disewa Bian Biau,
karena selama ini Bian Biau dianggap melanggar peraturan. Karena seharusnya hak
menanam di luar tanaman baku tersebut merupakan imbalan kepada para pembuka
lahan untuk meningkatkan kesejahteraan mereka. Tetapi ternyata malah disewakan
kepada Bian Biau. Hal ini menyalahi aturan dan Karmodo bermaksud untuk
menegakkan aturan tersebut. Sifat Bian Biau yang lain yaitu mampu melakukan apa
saja demi uang. Untuk menaklukkan Karmodo, berbagai cara dilakukan oleh Bian
Biau dari usaha untuk menyuap, sampai mengorbankan dua orang anaknya untuk
menaklukkan hati Karmodo.
Sebenarnya Bian Biau sendiri juga
memperistri seorang perempuan Jawa, dan mempunyai satu orang anak yaitu Lien
Nio, tetapi Bian Biau tidak pernah berhubungan dengan keluarga istrinya yang
berasal dari etnis Jawa. Hal ini tampak dalam kutipan berikut:
“Neng Parijatah, kowe mesthi arep
menyang omahe kulawarga saka ibumu, iya? Emane kowe wiwit cilik ora ditepungake
marang kulawarga ing Parijatah.”
Bian Biau memang melarang anaknya
berhubungan dengan keluarga ibunya karena Biau Biau menganggap etnis Jawa
rendah dan hina. Seperti dalam kutipan berikut ini.
…Papah mesthi isih nganggep ina marang wong
Jawa, nganti Papah lali yen Mamah uga wong Jawa. Apa aku dudu turune wong
Jawa?..
c.
Ing Hwat
Ing Hwat juga merupakan wakil generasi
pertama yang pada dirinya masih melekat kuat stereotip etnis Tionghoa. Ing Hwat
yang merupakan pedagang besar juga masih menganggap etnis Tionghoa lebih tinggi
derajatnya daripada orang Jawa. Hal ini tampak ketika anaknya Ing Liem
tertangkap basah memberi tumpangan kepada Karsini, seperti dalam kutipan
berikut.
Kowe apa arep gawe isinku, ya? Lha
wong anake Pak Karsonto wae ndadak kok boncengake barang. Kok jak sir-siran?
Salawase wong Jawa iku potongan jongos, potongan babu. Apa kowe ora isin karo
kanca-kanca sabangsamu?”
Tokoh-tokoh yang mewakili generasi
pertama dari dua etnis ini, dalam alur cerita selanjutnya memperoleh penyadaran-penyadaran.
Bapak/ Ibu Karsonto sadar bahwa etnis Tionghoa juga bisa membaur dengan etnis
Jawa, karena Karmodo, anaknya sendiri berhubungan dengan keturuan etnis
Tionghoa. Sedangkan Ing Hwat dan Bian Biau mulai menghargai etnis Jawa, dan
tidak melarang anak-anaknya mempunyai hubungan dengan etnis Jawa. Walaupun ijin
untuk berhubungan dengan etnis Jawa ini masih didasari keinginan agar dekat
dengan Karmodo, etnis Jawa yang sekarang punya kekuasaan.
2
Generasi Kedua
Generasi kedua dalam novel ini diisi
oleh tokoh-tokoh yang merupakan anak dari generasi pertama. Tokoh-tokoh dari
generasi kedua mempunyai cara pandang yang berbeda kepada masing-masing etnis.
Stigma yang selama ini melekat pada pola pikir generasi pertama dikikis oleh
para tokoh generasi kedua. Generasi ini lebih menghargai etnis yang lain, dan
cenderung menganggap tidak ada satu etnis yang lebih tinggi kedudukan dan
derajatnya daripada etnis yang lain. Beberapa pendapat generasi kedua mengenai
etnis Jawa maupun etnis Tionghoa dapat dilihat pada pembahasan berikut.
a.
Karsini dan Ing Liem
Karsini dan Ing Liem merupakan wakil
etnis Jawa dan Tionghoa generasi kedua. Keduanya menjalin hubungan kasih, dan
tentu saja hubungan ini ditentang oleh orang tua masing-masing yang masih
memegang teguh sentimen antaretnis. Berbeda dengan pendapat orang tua
masing-masing, Ing Liem dan Karsini mempunyai pandangan yang berbeda tentang
etnis Jawa dan etnis Tionghoa. Hal ini nampak pada pembelaan Karsini kepada Ing
Liem, maupun pembelaan Ing Liem saat hubungan mereka ditentang baik oleh orang
tua Karsini maupun Ing Liem. Seperti dalam kutipan berikut.
“Sing arep dadi gundhik sapa ta, Mbok?
Aran gundhik kuwi rak yen dirabi singkek sing sadurunge wis duwe anak bojo,
mung diingoni thok tanpa diwenehi hak kaya dene wong bebrayan lumrah. Balik Ing
Liem kuwi niyate becik marang aku. Malah dheweke janji saguh kawin cara
agamaku. Coba? Apa kaya ngono kuwi gundhik?”
“Arepa janji piye wae, jenenge wong
Jawa dikawin Cina kuwi nistha, dakomongi. Nistha!” Emboke nggetak ora kalah
santak (Esmiet, 1977: 21).
Ing Liem sendiri sebagai wakil etnis
Tionghoa generasi kedua menyadari sepenuhnya bahwa selama ini etnis Tionghoa
telah melakukan banyak hal-hal yang merugikan. Ing Liem juga merasa bahwa etnis
Tionghoa hanya menumpang hidup di bumi Indonesia. Oleh karena itu, dia bertekad
untuk memperbaiki sikap etnis Tionghoa, walaupun hanya di kalangan keluarganya.
Seperti dalam kutipan berikut.
“Anu kok, Mas, aku isih panggah ngugemi
janjiku biyen. Kepengin melu ngowahi sikepe bangsaku sing melu nunut urip ing
bumi Indonesia kene.”
“Kasil ora? Saora-orane ing kalangane
kulawargamu dhewe, ngono ta janjimu biyen?”
Lien Nio
Lien Nio dalam novel ini adalah figur
yang mengalami kegamangan karena ketidakjelasan identitas dirinya. Di satu
pihak, dia hidup dan dibesarkan di lingkungan etnis Tionghoa, tetapi dalam
berbagai hal dia menggugat cara-cara yang dilakukan oleh ayahnya dalam usaha
mengeruk keuntungan. Bahkan Lien Nio memilih pergi dari rumah karena tidak mau
menuruti nafsu serakah ayahnya untuk merayu Karmodo demi mendapat ijin sewa
tanah yang menjadi hak tanam para pembuka lahan. Selain itu, dia juga tidak
setuju dengan sikap etnis Tionghoa yang selalu merendahkan dan menghina etnis
Jawa.
Lien Nio berdarah campuran. Ibunya
seorang etnis Jawa, sedangkan ayahnya etnis Tionghoa. Keberadaan ibu kandung
Lien Nio tidak jelas. Selama ini dia tinggal bersama ayahnya Bian Biau dan ibu
tirinya yang juga etnis Tionghoa, Bun Lian Nio. Lien Nio juga tidak diijinkan
untuk mengenal keluarga dari ibu kandungnya karena ayahnya menganggap orang
Jawa lebih rendah derajatnya, sehingga dia melarang anaknya bergaul dengan etnis Jawa.
Untuk mengatasi problem tentang
kegamangan identitas dirinya, Lien Nio melakukan peniruan atau mimikri dengan
cara mengidentifikasikan dirinya dengan orang Jawa. Mimikiri pada dasarnya
merupakan keinginan menjadi subjek yang berbeda, yang hampir sama, tetapi tidak
sepenuhnya).
Mimikiri yang dilakukan oleh Lien Nio
meliputi peniruan dalam identitas yang paling mendasar yaitu nama, cara
berfikir, dan cara berpakaian. Karena mimikiri inilah, orang-orang dari etnis
Jawa, walaupun dari generasi pertama pun bersedia menerima kehadiran Lien Nio.
Seperti keluarga Bapak Karsonto yang tidak keberatan jika Lien Nio menikah
dengan Karmodo. Hal ini tampak dalam kutipan berikut.
“Nek prekara sesambungane masmu karo
Lien Nio, aku lan embokmu ora kabotan. Jalaran Lien Nio kuwi njawani katimbang
nyinani. Mula aku setuju.
Lie Nio berusaha menanggalkan
identitas dirinya sebagai etnis Tionghoa dengan cara mengganti nama
Tionghoa-nya dengan nama Jawa Tarlinah, dan merubah cara berpakaiannya seperti
orang Jawa, seperti dalam kutipan berikut.
“Kira-kira wae, kowe iki mrina, jalaran wong
tuwamu seneng ngenyek marang wong Jawa. Mangka ibumu kuwi wong Jawa.”
“Nitik kowe banjur macak cara Jawa, lan kowe
ora seneng yen diundang Lien Nio.” Lien Nio isih meneng.
“Awit kowe wis duwe jeneng Jawa, yaiku
Tarlinah, rak iya ta?”
Lagi Lien Nio manthuk. Nanging eluhe isih
dleweran. (Esmiet, 1977: 60).
Lien Nio juga berusaha untuk menegaskan
identitasnya sebagai etnis Jawa. Hal ini nampak pada kutipan beerikut.
“Niki mpun tekan, Yuk,” kandhane tukang dhokar
kuwi.
“Ampun ngundang Yuk teng kula, Pak.
Kula sanes Cina,” semanthane Lien, ewa. Apa maneh dheweke wektu iku menganggo
jaritan (Esmiet, 1977: 57).
Pada dasarnya setiap individu ingin
memiliki identitas sosial yang positif. Hal tersebut dalam rangka mendapatkan
pengakuan dan persamaan sosial. Jika identitasnya sebagai anggota suatu
kelompok kurang berharga, akan muncul fenomena misidentification, yaitu upaya untuk mengidentifikasi diri pada
kelompok lain yang dianggap lebih baik. Dalam hal ini Lien Nio yang besar di
lingkungan etnis Tionghoa lebih memilih mengidentifikasikan dirinya dengan
kelompok etnis Jawa, yang menurutnya lebih baik, dan sesuai dengan identitas
ibu kandungnya (Susetyo, tt).
b.
Karmodo sebagai Pendobrak Stigma Etnis Jawa
Stigma sebagai etnis rendahan, miskin,
dan selalu tunduk pada etnis Tionghoa melekat pada etnis Jawa. Stigma ini dalam
novel Tunggak Tunggak Jati, masih
muncul pada orang tua Karmodo, yaitu Pak Karsonto. Pak Karsonto sekeluarga
bekerja sebagai jongos di rumah Bian Biau, seorang etnis Tionghoa. Selama
bekerja, orang tua Karmodo diperlakukan dengan tidak adil. Bahkan selama 30
tahun masa kerjanya, orang tua Karmodo dianggap masih mempunyai setumpuk hutang
kepada Bian Biau.
Narator selaku fokalisator ekstern
menggambarkan sosok Karmodo sebagai deus
ex machina dalam pengertian klasik sebagai ‘dewa yang turun dari langit’.
Bertahun-tahun Karmodo menghilang tanpa jejak. Tidak diceritakan secara logis
mengenai keberadaan Karmodo, dan secara tiba-tiba setelah 10 tahun kepergian
Karmodo, pemuda ini hadir sebagai sosok tak terkalahkan yang mempunyai pangkat
dan kekuasaan melebihi Bian Biau, majikannya terdahulu. Narator secara intensif
menggambarkan sosok Karmodo sebagai penguasa. Pada bab pertama, tampak bahwa
Karmodo ingin merombak sistem penggarapan hutan yang diatur secara licik oleh
Bian Biau, seorang etnis Tionghoa yang selama ini dengan bebas memutarbalikkan
aturan pemerintah dalam hal penebangan hutan demi keuntungannya sendiri. Melalui
fokalisasi, tampaknya stigma negatif tentang ketidakberdayaan etnis Jawa
berusaha untuk dikikis. Oleh narator, Karmodo sebagai orang Jawa diunggulkan.
Beberapa kutipan yang menampilkan kekuasaan Karmodo tampak dalam kutipan
berikut ini.
Saiki Ir. Karmodo wiwit migunakake
sikepe penggedhe kang arep nyrengeni andhahane. Dheweke mbenakake lungguhe,
terus rembugan sarwa cekak ngudhal prabawa.
Senajan basane Pak Direktur marang dheweke isih jangkep, nanging Kaudin krasa
banget yen prentah iku ora kena dilirwakake.
Bareng wong-wong sing padha kaceluk
lan misuwur iku malah prasasat padha
nyembah marang Karmodo, wong-wong Kalidawir lagi padha ngerti yen anake Pak
Karsonto iku tetela dudu wong baen-baen
Ing Hwat, sing duwe toko gedhe dhewe
ing pasar Kalidawir banjur ngerti yen Karmodo saiki dadi wong pangkat, malah ngluwihi Pak Mujahit. Mula niyate sing arep
nembung Karsini supaya dadi rewang ing omahe, sakala diwurungake. ‘Ing Hwat,
yang memiliki toko paling besar di Pasar Kalidawir kemudian paham kalau
sekarang Karmodo sudah jadi orang berpangkat, malah melebihi Pak Mujahit. Oleh
karena itu, niatnya untuk meminta Karsini menjadi pembantu di rumahnya, saat
itu juga langsung diurungkan’ .
Kemejane putih lengen dawa lan clana
biru laut iku durung tau metu saka koper. Klambi iku klambi pethingan. Aja
bakal sowan ing ngarsane penggedhe
ora bakal nganggo setelan iku ‘Kemeja putih lengan panjang dan celana biru laut
itu belum pernah keluar dari koper. Baju itu baju andalan. Jika bukan karena
ingin menghadap pembesar, tidak akan mungkin setelan itu dipakai’.
Bian Biau krasa puyeng sirahe. Wis ana
lapuran marang dheweke yen Pak Mujahit ora kasil nelukake atine insinyur mudha Karmodo ‘Bian Biau merasa
pusing. Sudah ada laporan padanya kalau Pak Mujahit tidak berhasil menaklukkan
hati insinyur muda Karmodo’
Kutipan-kutipan di atas merupakan
penggambaran narator yang bertujuan untuk memberikan gambaran tentang kekuasaan
Karmodo. Karmodo sendiri digambarkan sebagai seorang raja kecil di daerah
kekuasaannya. Karmodo hadir sebagai seorang penguasa yang sontak
memutarbalikkan keadaan yang sudah berpuluh tahun berjalan di Kalidawir.
Narator berusaha membangun image bahwa
Karmodo berkedudukan jauh di atas orang-orang yang selama ini berkuasa di
Kalidawir. Mulai dari para mandor yang selama ini dikendalikan oleh etnis
Tionghoa sampai Bian Biau, etnis Tionghoa yang menguasai perekonomian di
Kalidawir.
Narator secara intensif membangun
image Karmodo. Jika Karmodo sedang berhubungan dengan pelaku cerita yang lain,
narator cenderung menggunakan kata ganti yang diberi embel-embel dengan kata
Pak, maupun gelar Insinyur atau Insinyur
mudha. Kutipan di atas juga menunjukkan bahwa narator berusaha untuk
menampilkan Karmodo yang notabene sebagai wakil etnis Jawa sebagai super hero, penguasa semua orang,
penakluk, penentu nasib orang lain, orang yang kekuasaannya melebihi siapapun,
ditakuti, disegani, dihormati, bahkan disembah oleh semua orang. Diceritakan
pula ada beberapa orang yang gemetar ketakutan bila berhadapan dan berbicara
langsung dengan Ir. Karmodo.
Kutipan nomor empat di atas juga
menunjukkan kekaguman salah satu orang terkaya di daerah Kalidawir, yang juga
merupakan etnis Tinghoa kepada Karmodo. Kutipan tersebut memberi pesan bahwa
orang Tionghoa pun kagum akan kekuasaan Karmodo, sehingga keinginan untuk
menjadikan etnis Jawa pada generasi kedua, dalam hal ini diwakili oleh Karsini
(adik Karmodo) yang merupakan etnis Jawa, pada kedudukannya semula (sebagai
pembantu) diurungkan. Karena orang Jawa generasi kedua (terwakili oleh Karmodo)
bukan stereotip orang Jawa dahulu yang hanya bisa berkedudukan sebagai
pembantu.
Tampilnya Karmodo merupakan media
pencapaian angan-angan kolektif orang Jawa yang selama ini ditempatkan pada
lapisan sosial di bawah etnis Tionghoa. Karmodo merupakan sosok etnis Jawa yang
dikedepankan untuk mendobrak stigma etnis Jawa yang selama ini terbangun.
Karmodo merupakan generasi kedua yang berbeda jauh kedudukannya dengan orang
tuanya yang hanya merupakan jongos etnis Tionghoa. Karmodo merupakan penguasa,
pembesar, orang berpangkat yang kedudukannya di atas etnis Tionghoa yang selama
ini menjadi majikan orang tuanya.
Selain digambarkan sebagai penguasa,
pembesar, dan lain-lain Karmodo juga digambarkan mempunyai sifat-sifat positif
yang menonjol. Hal ini juga merupakan media penyalur angan-angan kolektif orang
Jawa tentang sifat orang Jawa sebenarnya. Beberapa kutipan tentang penggambaran
sifat-sifat Karmodo tampak dalam kutipan berikut ini.
“Ngadhepi pimpinan siji iki repot,
Yuk. Dheweke ora tedhas sogokan!” Bian Biau banjur mepetake lambene menyang
kupinge Lauri. Bisik-bisik. Lauri gebes maneh.
Kutipan di atas semakin memberikan gambaran
superioritas Karmodo. Etnis Jawa yang pada masa tersebut mempunyai tipikal
mudah disuap dan penurut.Karmodo dibangun sebagai sosok pemimpin yang tidak
mempan disuap, disogok, dan tidak suka main perempuan.
Novel Tunggak Tunggak Jati merupakan novel dengan skenario untuk
mengasimilasikan etnis Tionghoa agar bisa berbaur dengan etnis Jawa melalui
proses perjodohan. Beberapa peristiwa yang terjalin dalam novel ini
mengindikasikan bahwa etnis Jawa pun merupakan pilihan yang tidak kalah
berharga untuk dijadikan pasangan bagi etnis Tionghoa. Hal ini tercermin dalam
kisah cinta antara Siau Yung dan Ing Liem. Siau Yung dan Ing Liem semula sudah
bertunangan, tetapi selanjutnya Ing Liem lebih memilih perempuan dari etnis
Jawa, yaitu Karsini untuk dijadikan kekasihnya. Begitu pula dengan Siau Yung,
dia lebih memilih laki-laki dari etnis Jawa, yaitu Karmodo untuk dipilih
sebagai pasangan daripada Ing Liem, walaupun Karmodo lebih memilih kakak Siau
Yung yang merupakan campuran Jawa-Tionghoa untuk menjadi pasangannya.
Selain mengusung misi pembauran etnis
Jawa-Tionghoa, novel ini juga menempatkan Karmodo, wakil dari etnis Jawa dalam
posisi puncak, yaitu sebagai pemimpin yang kekuasaannya melebihi penguasa
ekonomi dari etnis Tionghoa. Kekuasaan Karmodo ini diperkuat dengan sifat-sifat
positif yang ada pada dirinya. Melalui kekuasaan dan sifat-sifat positif inilah
etnis Jawa dalam novel ini mampu meruntuhkan stereotip negatif mengenai
etnisnya.
Pada akhir novel pembaca dibawa pada
alur cerita yang mengejutkan dan mengharukan. Diceritakan adanya sekelompok
bawahan Karmodo yang menghasut para petani penggarap untuk berdemonstrasi
melawan kekuasaan Karmodo, untuk meminta kembali lahan garapan mereka yang dulu
dikuasai oleh Bian Biau sebagai majikan. Karmodo sebagai sasaran demonstrasi
akhirnya diselamatkan oleh Lien Nio yang mewarisi usaha Bian Biu. Kejadian ini
menyebabkan hubungan Karmodo dan Lien Nio yang berakhir karena adanya konflik
dan kesalahpahaman kembali bersemi. Mereka berdua akhirnya bersatu. Penyatuan cinta
ini dalam novel Tunggak Tunggak Jati
ditanggapi seperti dalam kutipan berikut.
“Nanging yen Lien Nio beda Kang.
Dheweke kuwi calon garwane Pak Karmodo. Olehe tunangan wis suwe. Malah kabar
wiwit Pak Karsonto dadi jongose Bian Biau.”
Rembug iki mesthi wae nuwuhake
pengarep-arep becik. Grombolane wong-wong sing padha ngrasani nasibe kuwi
sakala katon sigrak. Katon bingar dadakan…
Kutipan di atas mengandung makna bahwa
penyatuan cinta Karsini-Ing Liem dan Karmodo-Lien Nio yang merupakan gambaran
pembauran etnis Jawa dan Tionghoa akan memberikan angin segar dan harapan baru
bagi kehidupan masyarakat, baik etnis Jawa maupun Tionghoa pada masa yang akan
datang.
0 komentar: