PENGETAHUAN BAHASA MASYARAKAT JAWA
PENGETAHUAN BAHASA
Bahasa Jawa,
sebagai bahasa ibu dan bahasa pergaulan sehari-hari masyarakat suku Jawa,
ternyata di dalamnya pun dikenal berbagai macam tingkatan dan undhak-undhuk
basa. Sesuatu yang sebenarnya tidak terlalu asing, mengingat beberapa bahas
lain yang berada dalam rumpun austronesia pun dikenal undhak-undhuk dalam berbahasa.
Terdapat tiga
bentuk utama tingkatan variasi bahasa Jawa, yaitu ngoko (“kasar”), madya
(“biasa”), dan krama (“halus”). Namun , pada tingkat yang lebih spesifik lagi,
terdapat 7 (tujuh) tingkatan dalam berbahasa Jawa, diantaranya: ngoko, ngoko
andhap, madhya, madhyantara, kromo, kromo inggil, bagongan, kedhaton. Di antara
masing-masing bentuk ini terdapat bentuk “penghormatan” (ngajengake, honorific)
dan “perendahan” (ngasorake, humilific). Seseorang dapat berubah-ubah
registernya pada suatu saat tergantung status yang bersangkutan dan lawan
bicara. Status bisa ditentukan oleh usia, posisi sosial, atau hal-hal lain.
Seorang anak yang bercakap-cakap dengan sebayanya akan berbicara dengan varian
ngoko, namun ketika bercakap dengan orang tuanya akan menggunakan krama andhap
dan krama inggil. Sistem semacam ini terutama dipakai di Surakarta, Yogyakarta,
dan Madiun. Dialek lainnya cenderung kurang memegang erat tata-tertib berbahasa
semacam ini.
Selain undhak-undhuk atau tingkatan bahasa, dikenal juga dialek yang berbeda-beda diantara orang-orang Jawa itu sendiri. Dalam hal ini, perbedaan dialek, dibagi menjadi 3 daerah, yaitu kelompok barat, tengah dan timur. Kelompok barat terdiri dari dialek Banten, Cirebon, Tegal, Banymas, dan Bumiayu. Kelompok tengah terdiri dari Pekalongan, kedu, bagelen, Semarang, Pantai Utara Timur (jepara,Demak, Rembang, Kudus, Pati), Blora, Surakarta, Yogyakarta, Madiun. Sedangkan, Kelompok dialek timur terdiri dari Pantura Timur (Tuban, dan Bojonegoro), Surabaya, Malang, Jombang, Tengger, Banyuwangi.
Selain memiliki bahasa tersendiri, masyarakat suku Jawa pun memiliki huruf tersendiri yang pada umunya mereka gunakan dalam kehidupan sehari-hari
Selain undhak-undhuk atau tingkatan bahasa, dikenal juga dialek yang berbeda-beda diantara orang-orang Jawa itu sendiri. Dalam hal ini, perbedaan dialek, dibagi menjadi 3 daerah, yaitu kelompok barat, tengah dan timur. Kelompok barat terdiri dari dialek Banten, Cirebon, Tegal, Banymas, dan Bumiayu. Kelompok tengah terdiri dari Pekalongan, kedu, bagelen, Semarang, Pantai Utara Timur (jepara,Demak, Rembang, Kudus, Pati), Blora, Surakarta, Yogyakarta, Madiun. Sedangkan, Kelompok dialek timur terdiri dari Pantura Timur (Tuban, dan Bojonegoro), Surabaya, Malang, Jombang, Tengger, Banyuwangi.
Selain memiliki bahasa tersendiri, masyarakat suku Jawa pun memiliki huruf tersendiri yang pada umunya mereka gunakan dalam kehidupan sehari-hari
Keberadaan
huruf Jawa (juga memiliki kemiripan dengan huruf Sunda, Bali, dan sasak) yang
dikenal sekarang ini, tentu tidak lepas dari sejarah yang mengiringinya, salah
satu cerita tentang sejarah huruf Jawa ini adalah cerita tentang Ajisaka yang
pada awalnya mencipatakan aksara Jawa yang dikenal dengan istilah
dhentawyanjana atau carakan. Aji saka menciptakan aksara Jawa ini pada saat dia
sedang berkelana dengan pengawalnya yang setia yaitu Dora, dan sampai di
pegunungan kendeng. Saat itu dora bertemu dengan Sembada, sahabatnya. Setelah
itu, terjadilah kesalah pahaman yang mengakibatkan Dora dan Sembada berkelahi
karena masing-masing dari mereka ingin membuktikan siapa dari mereka yang lebih
setia kepada aji saka. Dan untuk mengenang jasa kedua pengawalnya tersebut, aji
saka menciptakan sebuah syair yang kemudian hari menjadi asal mula dari huruf
Jawa sekarang ini.
Huruf Jawa atau lebih dikenal dengan huruf honocoroko ini terdiri dari 20 huruf, dimana setiap huruf nya memiliki makna tersendiri, diantaranya:
Ha – Hana Hurip Wening Suci – adanya hidup adalah kehendak dari yang Maha Suci.
Na – Nur Gaib, Candra Gaib, Warsitaning Gaib – pengharapan manusia hanya selalu ke sinar Ilahi.
Ca – Cipta Wening, Cipta Mandulu, Cipta Dadi – arah dan tujuan pada yang Maha Tunggal.
Ra – Rasaingsun Handulusih – rasa cinta sejati muncul dari rasa kasih nurani.
Ka – Kersaningsun Memayu Hayuning Bawana – hasrat diarahkan untuk kesejahtraan alam.
Dha – Dumadining Dzat kang tanpa winangenan – menerima hidup apa adanya.
Ta – Tatas, Titis, Tutus, Titi lan Wibawa – mendasar, totalitas, satu visi, ketelitian dalam memandang hidup.
Sa – Sifat Ingsun Handulu Sifatullah – membentuk kasih sayang seperti kasih Tuhan.
Wa – Wujud Hana Tan Kena Kinira – ilmu manusia hanya terbatas, namun implikasinya bisa tanpa batas.
La – Lir Handaya Paseban Jati – mengalirkan hidup sebatas pada tuntunan Ilahi.
Pa – Papan Kang Tanpa Kiblat – Hakikat Allah yang ada di segala arah.
Da – Dhuwur Wekasane Endek Wiwitane – Untuk bisa diaatas tentu dimulai dari dasar.
Ja – Jumbuhing Kawula Lan Gusti – selalu berusaha menyatu, memahami kehendaknya.
Ya – Yakin Marang Samubarang Tumindak Kang Dumadi – yakin atas titah atau kodrat Ilahi.
Nya – Nyata Tanpa Mata, Ngerti Tanpa Diuruki – memahami kodrat kehidupan
Ma – Madep, Mantep, Manembah, Mring Ilahi – yakin atau mantap dalam menyembah Ilahi.
Ga – Guru Sejati Sing Mruki – belajar dari guru nurani.
Ba – Bayu Sejati Kang Andalani – menyelaraskan diri pada gerak alam.
Tha – Tukul Saka Niat – sesuatu harus tumbuh dan dimulai dari niatan.
Nga – Ngracut Busananing Manungso – melepaskan egoisme pribadi.
Seperti bahasa lainya, huruf Jawa pun memiliki aturan tersendiri dalam tata cara penggunaanya. Diantaranya adalah adanya pasangan. Jika aksara Jawa yang akan digunakan bersifat silabis atau kesukukataan, maka akan susah untuk menuliskan huruf mati, maka dari itu cara penulisanya digunakan pasangan. Lalu ada juga Aksara Murda. Fungsi dari aksara murda ini hampir serupa dengan fungsi huruf kapital pada Bahasa Indonesia. Seperti penggunaan untuk nama orang, dan nama geografi.
Huruf Jawa atau lebih dikenal dengan huruf honocoroko ini terdiri dari 20 huruf, dimana setiap huruf nya memiliki makna tersendiri, diantaranya:
Ha – Hana Hurip Wening Suci – adanya hidup adalah kehendak dari yang Maha Suci.
Na – Nur Gaib, Candra Gaib, Warsitaning Gaib – pengharapan manusia hanya selalu ke sinar Ilahi.
Ca – Cipta Wening, Cipta Mandulu, Cipta Dadi – arah dan tujuan pada yang Maha Tunggal.
Ra – Rasaingsun Handulusih – rasa cinta sejati muncul dari rasa kasih nurani.
Ka – Kersaningsun Memayu Hayuning Bawana – hasrat diarahkan untuk kesejahtraan alam.
Dha – Dumadining Dzat kang tanpa winangenan – menerima hidup apa adanya.
Ta – Tatas, Titis, Tutus, Titi lan Wibawa – mendasar, totalitas, satu visi, ketelitian dalam memandang hidup.
Sa – Sifat Ingsun Handulu Sifatullah – membentuk kasih sayang seperti kasih Tuhan.
Wa – Wujud Hana Tan Kena Kinira – ilmu manusia hanya terbatas, namun implikasinya bisa tanpa batas.
La – Lir Handaya Paseban Jati – mengalirkan hidup sebatas pada tuntunan Ilahi.
Pa – Papan Kang Tanpa Kiblat – Hakikat Allah yang ada di segala arah.
Da – Dhuwur Wekasane Endek Wiwitane – Untuk bisa diaatas tentu dimulai dari dasar.
Ja – Jumbuhing Kawula Lan Gusti – selalu berusaha menyatu, memahami kehendaknya.
Ya – Yakin Marang Samubarang Tumindak Kang Dumadi – yakin atas titah atau kodrat Ilahi.
Nya – Nyata Tanpa Mata, Ngerti Tanpa Diuruki – memahami kodrat kehidupan
Ma – Madep, Mantep, Manembah, Mring Ilahi – yakin atau mantap dalam menyembah Ilahi.
Ga – Guru Sejati Sing Mruki – belajar dari guru nurani.
Ba – Bayu Sejati Kang Andalani – menyelaraskan diri pada gerak alam.
Tha – Tukul Saka Niat – sesuatu harus tumbuh dan dimulai dari niatan.
Nga – Ngracut Busananing Manungso – melepaskan egoisme pribadi.
Seperti bahasa lainya, huruf Jawa pun memiliki aturan tersendiri dalam tata cara penggunaanya. Diantaranya adalah adanya pasangan. Jika aksara Jawa yang akan digunakan bersifat silabis atau kesukukataan, maka akan susah untuk menuliskan huruf mati, maka dari itu cara penulisanya digunakan pasangan. Lalu ada juga Aksara Murda. Fungsi dari aksara murda ini hampir serupa dengan fungsi huruf kapital pada Bahasa Indonesia. Seperti penggunaan untuk nama orang, dan nama geografi.
Selanjutnya
adalah Aksara Swara, fungsi dari aksara swara ini adalah untuk menuliskan
aksara vokal yang menjadi suku kata, terutama yang berasal dari bahasa asing
untuk mempertegas pelafalanya.
Sandangan adalah tanda yang dipakai sebagai pengubah bunyi di dalam tulisan Jawa. di dalam penulisan bahasa Jawa, aksara atau huruf yang tidak mendapat sandangan diucapkan sebagai gabungan antara konsonan dan vokal a.
Sandangan adalah tanda yang dipakai sebagai pengubah bunyi di dalam tulisan Jawa. di dalam penulisan bahasa Jawa, aksara atau huruf yang tidak mendapat sandangan diucapkan sebagai gabungan antara konsonan dan vokal a.
0 komentar: