SISTEM RELIGI MASYARAKAT JAWA
Dalam
masyarakat jawa menganut agama islam, namun islam di jawa itu ada 2 yaitu islam
santri dan islam kejawen. Islam santri adalah masyarakat yang menganut agama
islam dan menjalankan rukun islam, seperti membaca syahadad, sholat, puasa ,
zakat, dan naik haji. Namun islam kejawen adalah islam yang dia hanya percaya
kepada gusti allah, dan nabi Muhammad, namun tidak menjalankan sholat.
Orang-orang
Islam kejawen percaya kepada keimanan Islam walaupun tidak menjalankan
ibadahnya, mereka menyebut Tuhan adalah gusti Allah dan menyebut Nabi Muhammad
dengan kanjeng nabi. Kecuali itu, orang islam kejawen tidak terhindar dari
kewajiban berzakat. Kebanyakan orang Jawa percaya bahwa hidup manusia di dunia
ini sudah diatur dalam alam semesta sehingga ada yang bersikap nerimo, yaitu
menyerahkan diri pada takdir.
Bersamaan dengan pandangan tersebut, orang Jawa percaya kepada suatu kekuatan yang melebihi dari segala kekuatan dimana saja yang pernah dikenal, yaitu kesaktian atau kasakten yang terdapat pada benda-benda pusaka, seperti : keris, gamelan, dan lain-lain. Mereka juga mempercayai keberadaan arwah atau roh leluhur, dan makhluk-makhluk halus, seperti memedi, lelembut, tuyul, demit, serta ijin yang menempati alam sekitar tempat tinggal mereka. Menurut kepercayaan, makhluk halus tersebut dapat mendatangkan kesuksesan, kebahagiaan ketentraman, atau keselamatan. Tetapi sebaliknya ada juga makhluk halus yang dapat menimbulkan ketakutan atau kematian.
Bilamana seseorang ingin hidup tanpa menderita gangguan itu ia harus berbuat sesuatu untuk mempengaruhi alam semesta dengan cara, misalnya berprihatin, berpuasa, berpantang melakukan sesuatu perbuatan, serta makan-makanan tertentu, berkeselamatan dan sesaji. Selamatan dan bersesaji seringkali dijalankan oleh masyarakat Jawa di desa-desa pada waktu tertentu. Selamatan erat kaitannya dengan kepercayaan terhadap unsur-unsur kekuatan sakti maupun makhlus halus. Umumnya selamatan ditujukan untuk memperoleh keselamatan hidup dengan tidak ada gangguan-gangguan apa pun.
Selamatan adalah suatu upacara makan bersama atas makanan yang telah diberi doa sebelum dibagi-bagikan. Sesuai dengan peristiwa atau kejadian dalam kehidupan sehari-hari
Bersamaan dengan pandangan tersebut, orang Jawa percaya kepada suatu kekuatan yang melebihi dari segala kekuatan dimana saja yang pernah dikenal, yaitu kesaktian atau kasakten yang terdapat pada benda-benda pusaka, seperti : keris, gamelan, dan lain-lain. Mereka juga mempercayai keberadaan arwah atau roh leluhur, dan makhluk-makhluk halus, seperti memedi, lelembut, tuyul, demit, serta ijin yang menempati alam sekitar tempat tinggal mereka. Menurut kepercayaan, makhluk halus tersebut dapat mendatangkan kesuksesan, kebahagiaan ketentraman, atau keselamatan. Tetapi sebaliknya ada juga makhluk halus yang dapat menimbulkan ketakutan atau kematian.
Bilamana seseorang ingin hidup tanpa menderita gangguan itu ia harus berbuat sesuatu untuk mempengaruhi alam semesta dengan cara, misalnya berprihatin, berpuasa, berpantang melakukan sesuatu perbuatan, serta makan-makanan tertentu, berkeselamatan dan sesaji. Selamatan dan bersesaji seringkali dijalankan oleh masyarakat Jawa di desa-desa pada waktu tertentu. Selamatan erat kaitannya dengan kepercayaan terhadap unsur-unsur kekuatan sakti maupun makhlus halus. Umumnya selamatan ditujukan untuk memperoleh keselamatan hidup dengan tidak ada gangguan-gangguan apa pun.
Selamatan adalah suatu upacara makan bersama atas makanan yang telah diberi doa sebelum dibagi-bagikan. Sesuai dengan peristiwa atau kejadian dalam kehidupan sehari-hari
Berdasar konsep ‘sistim religi’
(kepercayaan) Jawa sebagaimana diuraikan di atas, maka kemudian terajarkan
banyak ‘ritual panembah’ kepada Tuhan dan ‘ritual sesaji’ untuk
memule (memuliakan) arwah leluhur. Ritual memuliakan arwah leluhur ini banyak
mengundang ‘anggapan’ sebagai ‘menyembah’ arwah leluhur dan dikonotasikan
sebagai ‘syirik’. Padahal ritual dimaksud adalah upaya memuliakan dan
berkomunikasi dengan para arwah leluhur yang dimungkinkan belum mencapai
‘kasampurnan’ dan bersemayam di alam lain (pangrantunan, alam alus, dan
pedanyangan). Dalam hal ini, pandangan Jawa menyatakan bahwa semua arwah yang
belum mencapai ‘kasampurnan’ masih bisa berhubungan (ada ikatan spiritual)
dengan anak keturunannya. Berdasar paham tersebut dinyatakan bahwa pekerti anak
keturunan yang baik akan mampu membantu ‘nyuwargakake’ (mengantar ke sorga)
para leluhurnya. Meski paham yang demikian dianggap ‘tidak masuk akal’,
namun mengandung makna ‘pendidikan’ tentang budi pekerti luhur yang harus diemban setiap insan demi kepentingan ‘menyempurnakan’ arwah leluhurnya.
namun mengandung makna ‘pendidikan’ tentang budi pekerti luhur yang harus diemban setiap insan demi kepentingan ‘menyempurnakan’ arwah leluhurnya.
Ritual panembah Jawa tidaklah sama dengan ritual
agama. Wujud panembahnya berupa totalitas pelaksanaan ‘menjalani hidup’ yang
benar, baik dan ‘pener’.
yaitu menjalani hidup dengan konsep:
1) bersembah/berbakti
kepada Tuhan penguasa alam dengan ‘eling’ secara terus-menerus.
2) melakukan hubungan baik dengan alam semesta dan seluruh isinya, termasuk melakukan berbagai ’ritual sesaji’
3) melakukan hubungan antar sesama manusia dengan berkeadaban.
2) melakukan hubungan baik dengan alam semesta dan seluruh isinya, termasuk melakukan berbagai ’ritual sesaji’
3) melakukan hubungan antar sesama manusia dengan berkeadaban.
Sistim religi Jawa juga berdasarkan ’falsafah
panunggalan’, bahwa semua yang ada dan tergelar di jagad raya merupakan
’Maha Kesatuan Tunggal’ yang di-’purbawasesa’ (dikuasai, diatur,
dikendalikan) oleh Yang Maha Kuwasa.
0 komentar: